Selasa, 16 Juli 2013

kuliner sumenep

                                                  

Selasa, 25 Juni 2013

TERBING
Terbing merupakan suatu tempat dimana penuh keindahan yang terletak di desa Parsanga. Di sana bisa digunakan sebagai tempat berolahraga, banyak para olahragawan dan olahragawati yang berolahraga, selain untuk berolah raga di Terbing juga ada makam dan banyak orang yang berziarah kesana. tepatnya d puncak Terbingnya.
Setelah menempuh jalan ke atas dan cukup jauh terdapat sungai yang airnya sangat alami dan segar. Sehingga seru buat tempat rekreasi, berolahraga, atau hanya menikmati udara segar disana.
Bagi yang berminat langsung saja ke Jalan Raya Gapura Parsanga, Gg Rajawali.


APEN :)
    Sumenep terdiri dari banyak desa, tetapi yang paling terkenal dengan "KOTA APEN" adalah desa Parsanga. Parsanga terletak sebelah timur dari PASAR BANGKAL.
     APEN merupakan makanan khas dari desa PARSANGA. Rasanya manis dan enak. Kalau ada yang berminat untuk menikmatinya, segera datang ke Jalan Raya Gapura Parsanga Sumenep. Di sepanjang jalan Parsanga anda akan menemukan beberapa warung disana. Selamat mencoba dan trimakasih :)
Tsulusiah Laili
Winda Indasari
Hilman Hatadi

Selasa, 07 Mei 2013

MUSEUM SUMENEP




By : FEBI SIVIA S.

    Seperti kegiatan wisata museum umumnya, pengunjung yang dapat mengetahui informasi mengenai perjalanan panjang sejarah Keraton Sumenep. Anda dapat memperoleh pengetahuan sejarah masa awal Keraton Sumenep hingga masa kini dalam nuansa bangunan dan
lingkungan bangunan yang berakulurasi dengan indahnya.
    Museum terbagi menjadi tiga bagian yang terletak di depan/luar keraton dan di dalam keraton. Bagian pertama, di luar keraton, adalah tempat menyimpan kereta kuda/ kencana kerajaan Sumenep dan kereta kuda pemberian ratu Inggris, yang sampai sekarang masih dapat dipergunakan dan dikeluarkan pada saat upacara peringatan hari jadi kota Sumenep.
    Bagian kedua dan ketiga terdapat di dalam keraton Sumenep, yang di dalamnya menyimpan alat-alat untuk upacara mitoni atau upacara tujuh bulan kehamilan keluarga raja, senjata-senjata kuno berupa keris, clurit, pistol pedang bahkan semacam samurai dan baju besi untuk perang, al-Qur’an yang ditulis oleh Sulta Abdurrachman, guci dan keramik dari Tiongkok/ Cina yang menggambarkan bahwa pada saat itu terjalin hubungan yang erat antara kerajaan Sumenep dan kerajaan Cina, patung-patung/ arca, baju kebesaran Raja/Sultan, sampai tulang/fosil ikan paus yang terdampar di pantai Sumenep pada tahun 1977.
Museum ketiga disebut juga museum Bindara Saod karena pada zamannya tempat itu adalah tempat Bindara Saod menyepi, maka disebut juga dengan Rumah penyepian Bindara Saod. Terdiri lima bagian yaitu teras rumah, kamar depan bagian timur, kamar depan bagian barat, kamar belakang bagian timur dan bagian barat. Baik Museum, Museum Kantor Koneng dan Museum Bindara Saod, ramai dikunjungi, baik itu wisatawan lokal, maupun mancanegara untuk menikmati koleksi sejarah keraton Sumenep.

Beberapa foto yang terdapat di Museum Sumenep.
















Jumat, 03 Mei 2013

KERATON SUMENEP & MASJID JAMIK





Bak potret raksasa dalam sebuah bingkai histori. Bangunan megah berdiri dengan nuansa yang khas menyiratkan peninggalan masa silam. Berdiri di kawasan seluas 12 hektar, di tengahnya terdapat Pendopo Agung dengan ornamen khas berlatar bangunan tua yang tak kalah gagah memancarkan kharisma. Sebatang pohon Beringin besar berdiri di samping kirinya, menambah kokoh dan sakral nuansa yang terpancar dari warisan para raja yang dulu pernah berkuasa.
Walau kini Keraton Sumenep tidak lagi dihuni seorang raja beserta keluarga dan para abdinya. Namun bangunan yang berumur lebih dari 200 tahun itu tetap terjaga. Sumenep setelah berubah secara birokrasi dan mulai dipimpin oleh seorang bupati setelah masa raja Panembahan Notokusumo II (1854-1879) menganggap warisan sisa masa keemasan itu sebagai sebuah kekayaan sejarah yang tak ternilai harganya.
Bangunan-bangunan di kawasan keraton sudah tidak ditempati lagi. Kecuali pada bagian belakang, menghadap ke Utara, yang kemudian dibangun rumah dinas bupati, berlawanan dengan keraton. Sementara pendopo kini kerap difungsikan untuk acara rapat-rapat para aparat pemerintahan, hingga pagelaran seni dan budaya setempat.
Bangunan fisik Keraton Sumenep terbilang masih asli. Hanya bagian lantai yang telah dirubah karena rusak. Semula berlantai marmer kini keramik. Terhadap bangunan keraton sendiri yang usianya lebih dari dua abad pernah dilakukan perbaikan namun hanya pada bagian gentingnya. Selain itu pengecatan tetap dilakukan pada bagian dinding agar tetap kelihatan cerah.
Bangunan utama keraton terdiri dari dua lantai. “Lantai atas merupakan tempat para putri raja yang dipingit selama 40 hari sebelum datangnya hari pernikahan,” papar Moh. Romli, penanggung jawab Museum Keraton Sumenep. Menurut pria 40 tahun ini, bangunan kediaman raja yang terletak di lantai bawah terdapat empat kamar yang masing-masing diperuntukkan untuk kamar pribadi raja, kamar permaisuri, kamar orang tua pria dan orang tua perempuan raja.
Secara umum gaya arsitektural Keraton Sumenep merupakan perpaduan antara gaya arsitektur Eropa, Arab, dan China. Gaya Eropa tampak pada pilar-pilar dan lekuk ornamennya. Sedangkan gaya China bisa dilihat pada ukiran-ukiran yang menghiasi. Detil ukiran bergambar Burung Hong, yang konon merupakan lambang kemegahan yang disakralkan oleh bangsa China. Ada pula Naga yang melambangkan keperkasaan, beberapa bergambar bunga Delima yang melambangkan kesuburan. Demikian pula pada pilihan warna Merah dan Hijau.
Salah seorang arsitek pembangunan keraton bernama Lauw Piango, yang setelah meninggal di kebumikan di sekitar Asta Tinggi (komplek makam raja Sumenep dan keturunannya) adalah pria berkebangsaan China. Bahkan konon yang mengepalai tukang saat pembangunan keraton adalah orang China, bernama Ka Seng An. Nama itu kemudian dijadikan nama desa dimana dia dulunya tinggal, menjadi desa Kasengan.
Dalam sejarah Sumenep disebutkan keraton tempat kediaman raja sempat berpindah-pindah. Konon pada masa awal yang dipimpin oleh Raja Aria Wiraraja, yang berasal dari Singosari, keraton Sumenep berada di Desa Banasare, Kecamatan Rubaru. lalu keraton juga pernah pindah ke daerah Dungkek pada masa raja Jokotole (1415-1460).
Beberapa daerah lain juga diindikasi sebagai keraton Sumenep, seperti Tanjung, Keles, Bukabu, Baragung, Kepanjin dan daerah lain sebelum akhirnya menempati lokasi keraton yang masih tersisa sekarang. Di Desa Pajagalan yang merupakan warisan sejak raja, yaitu Panembahan Somala dan enam raja berikutnya.
Panembahan Somala berinisiatif membangun katemenggungan atau kadipaten ini setelah selesai perang dengan Blambangan, pada tahun 1198 hijriyah. Keraton itu selesai pada tahun 1200 hijriyah atau 1780 masehi.
Batas-batas keraton pada jaman dahulu meliputi, sisi Timur adalah Taman Lake’, ini menurut Romli, masih merupakan anak sumber air dari Taman Sare yang berada di sekitar keraton. Sayang, tempat ini sekarang sudah ditutup karena difungsikan sebagai sumber air PDAM Sumenep. Sebelah Utara hingga monumen tembok keraton yang ada di jalan Panglima Sudirman sekarang. Dan sisi Barat hingga bagian belakang Masjid Agung (Jami’) Sumenep sekarang.
Menurut cerita, sebelum dibangun Masjid Jami’, sudah ada masjid yang dibangun oleh raja Pangeran Anggadipa (1626-1644 M). Letaknya di sebelah Utara keraton. Namanya Masjid Laju, laju dalam bahasa Indonesia berarti Lama. Masjid Jami’ sebelumnya merupakan masjid keraton yang eksklusif untuk raja dan kalangan kerajaan. Tepat di depan masjid terdapat Alun-alun keraton. Sekarang sudah di-redesign menjadi Taman Bunga Kota Sumenep. Sementara batas Selatan hingga di belakang museum.
Pagar keraton yang ada sekarang adalah peninggalan masa R. Tumenggung Aria Prabuwinata. Sebelum diganti dengan bilah besi yang berujung mata tombak itu, pagar keraton berupa tembok tebal setinggi lebih dari dua meter. Hal ini terbukti dari sisa pagar yang hingga kini masih ada di belakang keraton, tepat di depan rumah dinas Bupati sekarang. Sisa pagar itu kini dijaga sebagai Monumen bukti sejarah Keraton Sumenep.
Bangunan yang dipakai kantor Dinas pariwisata dan Kebudayaan itu sebenarnya bukan bagian dari keraton, dulu dikenal dengan sebutan Gedong Negeri, walau ada di lingkungan Keraton Sumenep. Bangunan bergaya Eropa ini didirikan sekitar tahun 1931, pada jaman pendudukan Belanda di tanah air. Kehadiran gedung tepat di depan keraton itu memang mengganggu kharisma keraton secara keseluruhan. Pandangan kearah Keraton Sumenep menjadi terhalang.

                                                                                                                by : Febi Silvia S.

SEJARAH SUMENEP



Sejarah Sumenep bermula dari zaman Singhasari hingga sekarang, Indonesia. Sumenep (bahasa Madura: Songènèb) adalah sebuah kabupaten di provinsi Jawa Timur, Indonesia. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 2.093,45 km² dan populasi 1.041.915 jiwa. Ibu kotanya ialah Kota Sumenep.
ETIMOLOGI
Nama Songènèb sendiri dalam arti etimologinya merupakan Bahasa Kawi / Jawa Kuno yang jika diterjemaahkan mempunyai makna sebagai berikut : Kata “Sung” mempunyai arti sebuah relung/cekungan/lembah, dan kata “ènèb” yang berarti endapan yang tenang, maka jika diartikan lebih dalam lagi Songènèb / Songennep (dalam bahasa Madura) mempunyai arti "lembah/cekungan yang tenang". Penyebutan Kata Songènèb sendiri sebenarnya sudah popular semenjak Kerajaan Singhasari sudah berkuasa atas Jawa, Madura dan Sekitarnya, seperti yang telah disebutkan dalam kitab Pararaton tentang penyebutan daerah "Sumenep" pada saat sang Prabu Kertanegara mendinohaken (menyingkirkan) Arya Wiraraja (penasehat kerajaan dalam bidang politik dan pemerintahan) ke Wilayah Sumenep, Madura Timur tahun 1926 M '“Hanata Wongira, babatangira buyuting Nangka, Aran Banyak Wide, Sinungan Pasenggahan Arya Wiraraja, Arupa tan kandel denira, dinohaksen, kinun adipati ring Sungeneb, anger ing Madura wetan”.' Yang artinya : “Adalah seorang hambanya, keturunan orang ketua di Nangka, bernama Banyak Wide, diberi sebutan Arya Wiraraja, rupa-rupanya tidak dipercaya, dijauhkan disuruh menjadi adipati di Sumenep. Bertempat tinggal di Madura timur.”

                                                                                            by : Febi Silvia S.